Empat Periode Jadi Anggota DPRD Jember, Holil Asy’ari Sempat Mau Istirahat
Jember, Portal Jawa Timur – Muhammad Holil Asy’ari, nama lengkapnya. Umurnya sudah berkepala lima, tepatnya 53 tahun. Ra Holil, sapaan akrabnya, bukan cuma senior umurnya, tapi juga senior jam terbang politiknya.
Baca Juga: H Ahmad Halim dan Fuad Ahsan Pimpinan Sementara DPRD Jember
Betapa tidak, ia sudah 4 kali terpilih sebagai anggota DPRD Jember. Berarti hingga saat ini ia sudah lebih 15 tahun menjadi wakil rakyat Jember.
Baca Juga: Ra Holil, Sosok di Balik Sukses Membaurnya NU-Muhammadiyah di Masjid As-Salam Surya Milenia Jember
Jarang sekali anggota DPRD Jember bisa bertahan begitu lama di kursi Dewan. Banyak caleg petahana justru tumbang. Namun Ra Holil bukan politisi kaleng-kaleng. Ia politisi yang hebat sehingga mampu bertahan dalam situasi apapun. Bahkan mampu bertahan hingga memasuki periode keempat sebagai anggota DPRD Jember.
“Saya bisa-biasa saja, tidak hebat, tapi Allah yang hebat,” ujarnya merendah saat dikonfirmasi di Jember, Ahad (22/9/2024).
Bisa jadi Ra Holil memang tidak hebat dalam pengertian konvensional, tapi yang pasti ia mampu merawat konstituen. Dan merawat manusia itu tidak gampang. Tidak sedikit politisi yang alih-alih merawat konstituen justru ia berpaling dari pendukungnya ketika sudah terpilih sebagai legislator.
“Kalau soal konstituen mesti kita rawat karena mereka sangat berjasa dalam mengantarkan saya menjadi legislator,” jelasnya.
Sebenarnya latar belakang pendidikan Ra Holil adalah guru. Dan iapun sudah mantap untuk menjadi guru karena baginya profesi guru sangat mulia.
Namun suatu ketika di tahun 2003 Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tanjung datang ke Jember untuk menghadiri HUT Partai Golkar yang digelar di GOR Pemuda Kaliwates Jember.
Ketika itu Mahmud Sarjujono meminta Ra Holil untuk menemani makan Akbar Tanjung di Hotel Bandung Permai. Saat itulah Akbar Tanjung mendorong Ra Holil agar nyaleg lewat Partai Golkar.
Sempat ragu, tapi akhirnya maju sebagai caleg di pileg tahun 2004. Namun saat itu Ra Holil hanya penggembira saja. Saat itu sistem pemilu masih menggunakan proporsional tertutup.
Lima tahun berikutnya, Ra Holil serius menjadi caleg. Tapi tidak gampang. Sebab pasca reformasi, citra Partai Golkar anjlok, dan tak sedikit masyarakat yang menggemakan teriakan: jangan pilih Golkar. Ini bisa dimaklumi karena masyarakat masih punya sisa-sisa dendam politik lantaran Partai Golkar dianggap partai politik yang ikut menenggelamkan Indonesia bersama Soeharto.
Namun Ra Holil mampu meyakinkan masyarakat bahwa Golkar pasca reformasi adalah Golkar baru yang sudah bertaubat dan berubah.
“Dan alhamdulillah, saya lolos. Jadi tahun 2009 awal karir politik saya di Dewan,” ungkapnya.
Lima tahun berikutnya saat pileg tahun 2014 digelar, Ra Holil nyaleg lagi. Sebagai petahana, ia tak begitu sulit untuk menang. Dan ia melenggang ke gedung DPRD Jember untuk kedua kalinya.
Pileg tahun 2019 sesungguhnya Ra Holil tidak mau nyaleg lagi. Ia mau fokus mengajar. Namun tidak bisa karena ia adalah pengurus Fraksi Golkar sehingga diharuskan nyaleg. Dan lagi-lagi ia lolos.
Tahun 2024, lagi-lagi Ra Holil berniat mau istirahat dari kesibukannya di Dewan. Ia sudah merasa cukup lama berkecimpung di parlemen. Tapi sebagai Bendahara Partai Golkar Jember, lagi-lagi ia diharuskan nyaleg untuk mengamankan kursi Golkar di dapil 6.
“Ya saya nyaleg lagi, dan jika nyaleg tidak boleh setengah-setengah. Dan saya lolos jadi anggota Dewan untuk yang keempat kalinya,” ucap Ra Holil.
Kendati sibuk sebagai legislator, namun Ra Holil tak melupakan idealismenya sebaga guru. Bahkan ia kuliah lagi menempuh program magister pendidikan di UIN KHAS Jember, dan sukses.
Di Luar itu, Ra Holil juga tetap membaur dengan basis kulturalnya. Sejak lama ia aktif di IPNU, dan sampai sekarang tetap membina anak-anak IPNU. Bahkan ia menjadi penasehat Ranting Ansor Kasian Kecamatan Puger.
Ra Holil sudah banyak merasakan suka dukanya sebagai politisi. Baginya, yang paling membanggakan ketika dirinya bisa membantu masyarakat.
Namun sebaliknya, rasa sedih tak jarang menggelayut di hatinya ketika aspirasi masyarakat tak bisa diperjuangkan. Memang, bisa saja ia beralasan kepada masyarakat bahwa pihak eksekutor kebijakan adalah eksekutif, bukan legislatif.
“Tapi yang berjanji dan yang menerima aspirasi masyarakat kan saya sebagai anggota Dewan,” pungkasnya (Jbr-1/AAR).