H. Fathorrosi, Santri yang Sukses Jadi Petani Tebu, Ini Rahasianya
Kisah Sukses H. Fathorrosi, Alumni Pesantren Maqna’ul Ulum Sukowono Jember (Bagian-2/habis)

Jember, Portal Jawa Timur – Tidak mudah menjalani kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Untuk bisa bertahan hidup saja susahnya bukan main, apalagi untuk meraih kesuksesan.
Baca Juga: Mondok Mencari Barokah, Alumni Pesantren Maqnaul Ulum Sukowono Jember Ini Sukses Jadi Petani Tebu
Itu pula yang dialami oleh H. Fathorrosi. Alumni Pondok Pesantren Maqna’ul Ulum, Desa Sukorejo Kecamatan Sukowono Kabupaten Jember Jawa Timur ini, di awal-awal hidupnya mengalami kesulitan ekonomi. Untuk bertahan hidup, ia harus menjadi buruh bajak sawah.
Baca Juga: Dandim 0824/Jember Pimpin Pembacaan Surat Yasin di Haul KH Ahmad Nahrawi Sukowono
Ia hanya mengambil upah dari pemilik sapi yang dibuat untuk membajak sawah. Tentu tidak banyak karena masih harus dibagi dengan si pemilik sapi/bajak tradisional.
“Ibaratnya, saya ngojek menggunakan motor orang lain, saya harus menyetor sebagian pendapatan kepada pemilik motor,” ujarnya di Bondowoso, Senin (24/2/2025).
Di masa-masa itu, kehidupan H. Fathorrosi memang cukup susah. Rezeki menjauh, alampun tak ramah. Namun di lubuk hati H. Fathorrosi, terpendam keyakinan bahwa suatu saat kehidupan yang layak akan berpihak pada dirinya.
“Karena saya yakin dengan doa dan barokah guru, kiai di pesantren,” tambahnya.
H. Fathorrosi memang pernah nyantri di Pondok Pesantren Maqna’ul Ulum Sukowono Kabupaten Jember selama 5 tahun.
Ikhwal ketertarikan Fathorrosi nyantri di pesantren tersebut, saat itu ia baru lulus SD tertarik dengan adab dan kesopanan seseorang yang nyantri di Pesantren Maqna’ul Ulum. Santri tersebut masih bertetangga dengan Fathorrosi muda sehingga paham perilaku dan kesopanannya dalam bergaul.
Selain itu, kebiasaan bahasa yang digunakan di pesantren tersebut adalah bahasa Indonesia. Waktu itu, orang yang bisa berbahasa Indonesia masih jarang kecuali anak-anak perkotaan saja. Tapi nyatanya santri Maqna’ul Ulum sudah biasa menggunakan bahasa Indonesia.
“Dua hal itu yang membuat saya tertarik untuk mondok di Maqna’ul Ulum. Saya suka bahasa Indonesia,” jelasnya.
Bisa jadi ketertarikan awal H. Fathorrosi karena dua hal tersebut. Tapi setelah nyantri dan menyelami betul kehidupan pesantren, sungguh luar biasa kehebatan pesantren. Kondisi pergaulan antar santri cukup familiar, bimbingan kiai sangat menyejukkan, dan sebagainya.
Bagi H. Fathorrosi Pesantren Maqna’ul Ulum bukan cuma tempat menimba ilmu namun juga tempat mengabdi sekaligus belajar bisnis. Sebab, saat itu ia dipercaya mengelola koperasi pesantren yang menjual kebutuhan konsumtif para santri.
Walaupun akhirnya yang dia tekuni saat terjun ke masyarakat bukan koperasi atau toko, melainkan bertani tebu, tapi tetap saja hitung-hitungan bisnis saat menjaga koperasi pesantren sangat bermanfaat.
“Tapi intinya ini semua (apa yang ia capai) adalah barokah kiai,” terangnya.
H. Fathorrosi memulai kehidupan berumah tangga dalam suasana prihatin dari sisi ekonomi. Upah yang dia dapat dari buruh bajak sawah, tak seberapa. Untuk makan saja tidak cukup.
Untuk menambah penghasilan, H. Fathorrosi juga bekerja sebagai buruh di gudang jagung ketika kerja bajak sawah lagi sepi. Kerjanya adalah merontokkan (ngorpeng) biji-biji jagung dari janggelnya. Namun itupun belum bisa menghasilkan uang yang cukup untuk sekadar menyambung hidup. Namun apa boleh buat, kesengsaraan tetap menghantui hari-harinya tanpa kepastian adanya cuan.
Di tengah ketidak pastian itu, ada seseorang yang menawarkan kerja sama untuk menanam tebu. Akhirnya dia memberanikan diri menanam tebu barang beberapa petak sawah (2004).
Sebenarnya menanam tebu tidak asing bagi H. Fathorrosi. Sebab, ayahnya sekian tahun lamanya memang jadi petani tebu, tapi karena lahan tebunya sering terbakar akhirnya gulung tikar.
Atas saran dan bimbingan orang tuanya, ia memulai dari nol menaman tebu bekerja sama dengan orang tersebut.
Seiring waktu yang terus berjalan, usaha tanam tebu yang dilakukan H. Fathorrosi terus berkembang dan berkembang. Tentu bukan tanpa rintangan, namun masih bisa diatasi.
“Semua usaha pasti punya kendala. Begitu juga menanam tebu, juga ada kendalanya, baik permasalahan lahan, dan sebagainya,” ungkapnya.
Selama hampir 22 tahun menjadi petani tebu, kehidupan H. Fathorrosi terdongrak cukup tinggi. Kalau dulu ia menjadi buruh bajak sawah, sekarang ia menjadi juragan bajak sawah dengan mesin. Bukan dengan sapi. Sebab, ada puluhan kektare lahan yang ia tanami tebu membutuhkan pembajak-pembajak yang andal untuk menghasilkan tebu yang berkualitas.
Namun apa yang diraih saat ini, ia merasa bukan semata-mata karena usahanya yang gigih, tapi juga lantaran ada rahasia Allah SWT yang tidak bisa dijelaskan.
Cuma, kebiasaan H. Fathorrosi sejak lama mungkin bisa menjadi petunjuk suksesnya dia dalam berusaha. Kebiasaan tersebut ialah berbakti kepada kedua orang tua, memperhatikan orang yang telah mendidiknya, dan bersedekah.
“Prinsip saya dalam hidup adalah berbakti kepada kedua orang tua, tidak lupa pada orang yang telah mendidik saya, dan perbanyak sedekah,” pungkasnya (Jbr-1/AAR).