Opini

Menelaah Gagasan Perubahan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD

Oleh: Sutrisno Puji Utomo, MH., Kaharudin Putra Samudra., MH., Salman Farisi, MH.

Gagasan untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat dipandang menarik perhatian dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Setelah sekian lama masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpinnya secara langsung, kini hak tersebut terancam dihapuskan atas nama efisiensi dan kestabilan politik.

Tak dapat dipungkiri bahwa Pilkada langsung memiliki berbagai tantangan, seperti biaya penyelenggaraan yang tinggi, praktik politik uang, serta potensi konflik antarwarga. Namun demikian, menjadikan kelemahan tersebut sebagai alasan untuk kembali ke sistem lama justru mengabaikan semangat demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik suara tertinggi. Pemilihan oleh DPRD dikhawatirkan akan membuka celah bagi praktik-praktik transaksional dan mengaburkan pertanggungjawaban kepala daerah kepada publik.

Memang benar bahwa demokrasi bukanlah sistem yang murah. Namun, konsekuensi dari menghapus peran rakyat dalam memilih pemimpinnya di tingkat kabupaten (bupati) dan provinsi (gubernur) seharusnya bisa dipertimbangkan lebih matang lagi agar tidak hilang kepercayaan masyarakat terhadap sistem dan melemahnya partisipasi politik. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan kekurangan dan kelebihan sistem Pilkada langsung maupun Pilkada yang dipilih oleh DPRD dengan melalui reformasi pembiayaan, peningkatan literasi politik, dan penegakan hukum yang tegas.

Berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, DPRD merupakan elemen dari pemerintahan daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilu. Dengan demikian, DPRD berperan sebagai perwakilan rakyat di tingkat daerah. Representasi sendiri dapat diartikan sebagai keberadaan seorang wakil yang bertindak atas nama mereka yang tidak dapat hadir secara langsung.

Dalam pandangan Hanna F. Pitkin melalui karyanya “The Concept of Representation”, pemilihan umum merupakan elemen krusial dalam sistem pemerintahan yang berbasis perwakilan. Oleh sebab itu, DPRD memiliki fungsi penting sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah daerah dalam menyuarakan serta memperjuangkan kepentingan publik.

Mekanisme pemilihan kepala daerah sebelum dan sesudah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sungguh jauh berbeda. Mekanisme pemilihan kepala daerah sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menggunakan mekanisme pemilihan perwakilan. Artinya kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Sedangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menggunakan mekanisme pemilihan langsung. Artinya masyarakat daerah tersebut langsung yang menentukan kepala daerahnya dengan sistem pemilihan umum, seperti halnya pemilihan presiden, DPR, DPRD dan DPD.

Pemilihan kepala daerah oleh DPRD sebenarnya bukanlah konsep yang asing dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Sejak diterapkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, mekanisme tersebut sudah mulai diperkenalkan. Namun demikian, dalam regulasi tersebut, DPRD tidak diberikan kewenangan penuh dalam menetapkan kepala daerah. Pada akhirnya, keputusan akhir berada di tangan Menteri Dalam Negeri, yang memiliki otoritas untuk memilih dan menetapkan salah satu calon yang diusulkan oleh DPRD.

Sebelumnya, mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Ketentuan ini kemudian dicabut dan digantikan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan wewenang penuh kepada DPRD untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, mulai dari tahap pencalonan hingga penetapan hasil. Namun, melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, mekanisme tersebut diubah, dan pemilihan kepala daerah dialihkan menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.

Pada tahun 2014, DPRD kembali dilibatkan dalam proses pemilihan kepala daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, sebagai bentuk evaluasi terhadap pelaksanaan pemilihan langsung sejak diterapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, ditegaskan bahwa tugas dan kewenangan DPRD provinsi maupun kabupaten/kota mencakup pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota.

Terdapat dua alasan utama yang mendasari gagasan untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Pertama, proses pemilihan langsung dianggap menimbulkan beban biaya yang sangat tinggi, baik bagi negara maupun bagi para calon kepala daerah.

Kedua, maraknya praktik politik uang dalam pemilihan langsung, mulai dari skala kecil hingga yang bersifat sistemik, turut menjadi kekhawatiran. Dalam hal pembiayaan, pemilihan langsung menyerap anggaran besar dari APBN.

Meskipun pemerintah telah menginisiasi sistem pemilihan serentak untuk mengurangi pengeluaran, Kementerian Dalam Negeri menilai bahwa model serentak justru lebih mahal dibandingkan sistem pemilihan terpisah di setiap daerah.

Jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka prosesnya hanya akan melibatkan sejumlah kecil anggota legislatif, yakni sekitar 20–55 orang di tingkat kabupaten/kota dan 35–120 orang di tingkat provinsi. Dengan demikian, pengeluaran negara dapat ditekan secara signifikan dibandingkan dengan penyelenggaraan pemilihan langsung.

Dalam konteks ini, pendekatan economic analysis of law dapat diterapkan, yakni penggunaan prinsip-prinsip ekonomi untuk mengukur efisiensi dan manfaat suatu kebijakan hukum tanpa mengabaikan tujuan utamanya. Pemilihan melalui DPRD dinilai lebih efisien dan tetap memberi dampak positif bagi masyarakat tanpa mengorbankan nilai-nilai hukum. Tujuan utama dari pemilihan kepala daerah adalah memilih sosok yang kompeten, dan hal ini dianggap lebih memungkinkan jika dilakukan oleh DPRD yang terdiri dari individu-individu berpendidikan. Selain itu, karena DPRD juga merupakan lembaga yang dipilih oleh rakyat, mereka memikul tanggung jawab untuk menyuarakan aspirasi masyarakat dan bertindak sebagai perwakilan rakyat di daerahnya.

Problema dalam sistem pemilihan Kepala Daerah sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat dua bentuk problem, yaitu pertama, kepala daerah yang terpilih kemungkinan besar tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat. Hal tersebut terjadi karena anggota DPRD tidak memperhatikan kepentingan masyarakat tetapi lebih memperhatikan kepentingan partai dan golongan. Kedua, terjadinya money politic di parlement. Para kandidat calon kepala daerah menggunakan segala cara untuk memuluskan langkahnya guna menjadi kepala daerah. Sehingga praktik bagi-bagi uang di parlement besar kemungkinan terjadi.

Sedangkan problema dalam sistem pemilihan kepala daerah sesudah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, jauh lebih banyak dari problema sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945. Problema tersebut seperti: biaya pelaksanaan pemilihan kepala daerah yang besar, rumitnya pengurusan daftar pemilih tetap, terjadinya money politic di masyarakat dan terjadinya konflik sesame masyarakat pasca pemilihan kepala daerah.

Pemilihan kepala daerah memainkan peran krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat daerah, dengan tiga fungsi utama, yaitu:

  1. Menentukan pemimpin daerah yang mampu menangkap aspirasi serta merealisasikan harapan masyarakat setempat.
  2. Proses pemilihan kepala daerah idealnya berlandaskan pada visi, misi, program kerja, kapabilitas, serta integritas para calon, karena hal-hal tersebut sangat berpengaruh terhadap efektivitas dan keberhasilan pemerintahan daerah.
  3. Pemilihan kepala daerah berfungsi sebagai mekanisme akuntabilitas dan evaluasi politik oleh masyarakat terhadap kinerja kepala daerah serta pihak-pihak politik yang berada di belakangnya.

Namun, apabila pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD, maka akan sulit untuk memenuhi ketiga fungsi utama dari pemilihan tersebut. Setiap masyarakat atau bangsa memiliki pandangan hidup yang berlandaskan nilai-nilai moral dan etika yang diyakini sebagai “kebenaran”. Nilai-nilai tersebut mencakup pandangan tentang apa yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak pantas, layak atau tidak layak, serta adil atau tidak adil. Nilai-nilai yang diyakini sebagai kebenaran oleh suatu masyarakat seharusnya menjadi dasar dalam menjalankan kehidupan sosial, berbangsa, dan bernegara. Kebenaran tersebut harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan secara sadar tanpa adanya tekanan dari pihak mana pun.

Secara filosofis, sistem hukum di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari pandangan bahwa Pancasila merupakan dasar filsafat bangsa (philosophische grondslag), sekaligus sebagai platform bersama atau titik temu nilai-nilai kebangsaan (kalimatun sawa), yang dikenal juga sebagai norma dasar (grundnorm).

Dalam konteks ini, Pancasila harus dipahami sebagai cita hukum (rechtsidee atau the idea of law) yang menjadi arah dan pedoman dalam kehidupan bernegara. Menurut Bernard Arief Sidharta, sistem hukum yang berlaku di suatu masyarakat pada dasarnya merupakan perwujudan dari cita hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut, yang kemudian dituangkan ke dalam aturan hukum positif, institusi hukum, serta praktik dalam birokrasi pemerintahan dan perilaku warganya.

Di samping itu, apabila kepala daerah dipilih oleh DPRD, masyarakat akan kehilangan peran serta secara langsung dalam proses pemerintahan daerah melalui mekanisme pemilihan. Kondisi ini berpotensi memperlebar jarak antara kepala daerah dan warganya, sehingga publik tidak memiliki pemahaman yang jelas mengenai visi dan misi pemimpin mereka. Pemilihan oleh DPRD juga dapat menimbulkan ketergantungan kepala daerah terhadap lembaga legislatif tersebut, menjadikan mereka lebih bertanggung jawab kepada DPRD ketimbang kepada rakyat yang seharusnya mereka layani. Situasi ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi yang menempatkan pemimpin sebagai abdi masyarakat, bukan sebagai perpanjangan tangan DPRD.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kedaulatan berada di tangan rakyat, yang berarti kehendak kolektif warga negara harus tercermin dalam peraturan perundang-undangan yang mewakili kepentingan umum. Salah satu ciri negara hukum yang demokratis adalah pelaksanaan pemilihan umum secara langsung untuk memilih para pemimpin. Pemilu juga merupakan instrumen utama dalam menjamin hak asasi politik warga negara.

Oleh karena itu, negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pemilu dilaksanakan secara jujur, adil, bebas, dan rahasia demi menjamin terwujudnya prinsip kedaulatan rakyat. Ketentuan mengenai pemilu sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat juga telah ditegaskan dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

Penulis adalah Mahasiswa Doktoral Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
error: Content is protected !!