Satu sisi memilih pemimpin itu adalah hak menurut konstitusi negara. Sisi lain memilih pemimpin itu wajib menurut syariat Islam. Soal siapa yang akan dipilih merujuk pada hasil ijtihad masing-masing, sesuai dengan pertimbangan akal dan spiritual.
Kaum santri semestinya lebih memiliki motivasi yang kuat dibanding kaum abangan. Tetapi mengapa yang terjadi sebaliknya? Hal ini tak lepas dari keberhasilan sekularisasi yang memisahkan umat dengan pemimpinnya.
Konsep iqomatul imamah (pembentukan pemerintahan) merupakan urusan wajib. Kendati mayoritas para ahli Fiqh berpendapat, bahwa memilih pemimpin itu fardhu kifayah. Suatu kewajiban syariah yang gugur lantaran sudah ada umat yang menunaikannya.
Disinilah rupanya titik lemah dari kehadiran kaum santri ke TPS. Mereka tak ambil pusing soal pemilihan pemimpin. Padahal, kepemimpinan dibentuk untuk mengatur hajat orang banyak. Termasuk hajat diri kita beserta keluarga.
Apatisme kaum santri menjadi sumber kebangkrutan dari masa depan politik kaum santri itu sendiri yang notabene memiliki saham besar bagi tegak dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sebagaimana kita ketahui, Jember adalah kota santri. Tapi mengapa mahaputra pesantren tak pernah menjadi orang nomor satu di daerah produsen tembakau terbaik di dunia ini? Mereka selama ini puas menjadi orang nomor dua, seperti Kiai Muqiet dan Gus Firjaun.
Tak kurang dari 18 bupati yang pernah memerintah Jember sejak berdiri pada 1929 sampai 2024 sekarang. Namun tak ada satupun yang berasal dari keluarga pesantren. Mereka rerata dari kaum priyayi, abangan dan tentara.
Mereka terdiri dari Noto Hadinegoro, Boediardjo, R Soedarman, Roekmoroto, R Seokarto, R Soedjarwo, Mochammad Djojosoemardjo, R Soedjarwo, R Oetomo, Mochammad Huseindipotoeno, Letkol Inf Abdul Hadi, Letkol Soepono, Soerjadi Setyawan, Kolonel Inf Priyatno Wibowo, Winarno, Drs H Samsul Hadi Siswoyo, MSi, Ir H MZA Djalal MSi, dr H Faida MMR, dan Ir H Hendy Siswanto ST, IPU, ASEAN Eng.
Dari nama-nama di atas, tak ada satupun mahaputra pesantren yang memimpin kota yang bergelar 1.000 pesantren ini. Ini bukan berarti kaum santri tak pernah berjuang memperebutkan riasah Kedipaten Jember.
Sekurang-kurangnya, dua kali, kiai bersaing memperebutkan jabatan bupati. Yaitu, Kiai Achmad Shiddiq vs R Soedjarwo pada dekade 1950-an. Dan juga, Kiai Yusuf Muhammad vs Samsul Hadi Siswoyo pada dekade 2000-an. Cuma, dua ulama dari trah Talangsari ini belum beruntung, sehingga rivalnya yang menang melalui pemilihan lewat DPRD waktu itu.
Pilkada 2024, adalah kesempatan emas bagi kaum santri membuktikan dirinya sebagai kelompok mayoritas yang tak abai dengan persoalan kepemimpinan Jember. Caranya, jangan golput dan datang ke TPS dengan mencoblos pasangan calon yang didukung oleh mayoritas mutlak dari partai-partai parlemen.
Jujur harus diakui, sekarang ini tak ada satu alasan untuk kalah. Yang ada, seribu alasan untuk menang. Ini waktunya kaum santri merebut supremasi politik dan historis demi kebesaran dan kejayaan kota suwar suwir ini.
Akhirnya, saya kutipkan pemikiran Dr Muhammad Natsir. Bahwa kekuasaan, pengaruh dan kepentingan politik hanyalah sarana untuk mencapai tujuan pengabdian kepada Allah SWT. Sementara partai politik adalah sarana untuk menyampaikan aspirasi umat dalam pemerintahan.
Berpartai menurut Perdana Menteri Presiden Soekarno itu, bertujuan untuk ibadah dan menjadi hamba Allah yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia. Selamat ber-Pilkada ria, semoga kemenangan bersama kita. Amien.
Penulis adalah Bupati LIRA Jember dan Pembina Wandas Fundation Jember