Tekan Angka Stunting, Plt. Kepala DP3AKB Jember Minta Masyarakat Hindari Pernikahan Dini
Jember, Portal Jawa Timur – Stunting sampai hari ini masih menjadi momok bagi bangsa Indonesia, termasuk Jember. Bahkan angka stunting di kota suwar-suwir ini masih masih cukup tinggi. Namun Plt. Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Jember Poerwahjoedi optimis angka stunting di Jember bisa diturunkan secara perlahan asalkan masyarakat dan keluarga penderita stunting juga sungguh-sungguh untuk menghilangkannya.
Baca Juga: Wabup Jember Sebut Stunting Nyaris Sama Dengan Covid-19
Menurut Poer, sapaan akrabnya, salah satu penyebab terjadinya stunting adalah kurangnya asupan gizi untuk si balita sehingga dia lambat perkembangan tubuhnya. Diakuinya bahwa pemerintah menyiapkan makanan bergizi bagi penderita stunting, namun tentu tidak setiap saat gizi itu diberikan.
Baca Juga: Angka Penderita Stunting di Jember 34 Persen
“Makanan bergizi memang sangat dibutuhkan bagi penderita stunting atau maupun yang tidak stunting. Sebab, anak yang lahir normal bisa menjadi stunting jika asupan gizinya tidak lancar,” ujarnya saat menjadi narasumber dalam Promosi & KIE Program Percepatan Penurunan Stunting kepada Masyarakat di Wilayah Khusus Tahun 2023 itu di gedung Olahraga Pondok Pesantren Nuris Antirogo Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember, Jumat (10/11/2023).
Menurutnya, penyediaan makanan bergizi seolah sulit karena terkait dengan keuangan. Namun sebenarnya, masyarakat bisa menyiasati dengan mengurangi anggaran untuk pos yang kurang penting, misalnya dana untuk rokok.
“Bapak-bapak bisa mengurangi jatah rokoknya setiap hari untuk dianggarkan buat membeli makanan bergizi. Saya kira bisa demi balita kita,” tambahnya.
Kemudian dari sisi pencegahan, Poer mewanti-wanti agar masyarakat menghindari pernikahan usia dini. Sebab, jika menikah dini alias belum waktunya maka berpotensi melahirkan anak yang kurang sehat sehingga terjadi stunting.
“Usia yang direkomendasikan untuk menikah itu, 21 tahun untuk wanita, dan 25 tahun untuk laki-laki,” jelasnya.
Poer mengakui bahwa pernikahan dini sulit diberantas lantaran sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat untuk menikah cepat-cepat jika si putri sudah ada yang meminang. Bahkan terkadang muncul isu kurang sedap jika anak putri tidak segera menemukan pasangan padahal umurnya sudah ‘tua’.
“Jadi menikah di usia dini itu kadang suatu kebanggaan bagi orang tua, ini masalahnya,” terang Poer.
Namun bagaimanapun orang tua harus paham bahwa menikahkan anaknya selagi umur belum matang akan menimbulkan risiko keluarga. Di antaranya berpotensi melahirkan anak stunting. Kemudian dari sisi kematangan jiwa, juga kurang kuat sehingga tak jarang pasangan yang menikah di usia dini, bercerai.
“Dan kalau sudah cerai itu susah apalagi sudah punya anak, nanti anaknya siapa yang ngurus,” tutur Poer.
Acara tersebut merupakan reses dari anggota Komisi IX DPR RI Nur Yasin, dihadiri oleh Nur Yasin, perwakilan BKKBN Jawa Timur, dan 300-an peserta (Jbr-1/AAR).