Prabowo Guru Demokrasi yang Sesungguhnya

Buku yang berjudul Prabowo Subiyanto Jenderal Penakluk Sejarah Presidensial ini sungguh luar biasa. Perjalanan panjang hidup sang jenderal, sejak menjadi prajurit hingga menjadi Presiden ke-8 Republik Indonesia, dikupas detail di buku ini.
Walaupun tentu tidak semua perjalanan hidupnya terekam dalam buku setebal 246 halaman ini, namun setidaknya menginformasikan momen-momen penting Prabowo sejak masa kanak-kanak, saat menjadi prajurit, hingga didepak dari keluarga Cendana, bahkan hingga kebijakan-kebijakannya saat menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Buku ini tanpa lipstik. Sebab penulisnya adalah orang luar, bukan anggota apalagi pengurus Partai Gerindra. Justru Moch. Eksan -sang penulis- adalah kader dan pengurus Partai NasDem Jawa Timur, yang dalam Pilpres 2024 berseberangan dengan Prabowo.
Karena itu, Moch. Eksan menulis Prabowo secara obyektif, apa adanya, tidak ewuh pakewuh, berdasarkan fakta sejarah dan kondisi lapangan. Hanya, sebagai politisi yang juga penulis, Moch. Eksan ingin berkontribusi dalam memajukan demokrasi dengan mengetengahkan Prabowo sebagai salah satu guru demokrasi. Terlalu sayang jika kisah perjalanan hidup Prabowo dilewatkan begitu saja dari ruang publik.
Ketua Bidang Ideologi dan kaderisasi DPP Partai NasDem, Willy Aditya juga mengakui buku ini cukup obyektif. Sebagaimana ia sampaikan dalam kata pengantar, bahasa yang digunakan dalam buku ini cukup lugas, tidak mendayu-dayu sembari memuji Prabowo.
“Semua disampaikan oleh orang yang telah menulis berbagai karya ini (Moch. Eksan) apa adanya sebagaimana sering kita dapati di berbagai artikel di media,” tulis Ketua Komisi XIII DPR RI itu.
Berbicara tentang demokrasi, tak berlebihan jika Prabowo menjadi salah satu ikonnya di negeri ini.
Sukses yang membuntuti hidup Prabowo hingga menjadi Presiden RI tidak terjadi secara serta merta. Ia pernah merasakan hidup yang begitu getir justru di saat karier militernya melesat cukup tajam. Yaitu, ketika terjadi peristiwa kerusuhan tahun 1998 yang kemudian memaksa mertuanya, Soeharto lengser dari kursi Presiden RI.
Ketika itu, Prabowo dituduh menjadi dalang semua kasus penculikan, pembunuhan, dan pelanggaran HAM yang dialamatkan kepada militer.
Sampai-sampai Prabowo sendiri pernah menyatakan bahwa andai ada kucing mati, maka yang salah adalah Prabowo.
Prabowo rupanya menjadi tumbal untuk menanggung dosa-dosa kemanusiaan dari rezim militer Orde Baru. (hal. 30).
Tidak hanya soal tuduhan pelanggaran HAM, Prabowo juga diisukan mau melakukan kudeta pasca tumbangnya Soeharto dari kursi presiden. Walaupun ketika itu sesungguhnya terbuka peluang Prabowo untuk berkuasa melalui jalur militer, namun ia tak melalukannya. Alih-alih melakukan kudeta, Prabowo malah dicopot dari korps TNI. Dan pencopotan itu ia terima dengan lapang dada.
Tidak mengkudeta namun Prabowo memilih jalan demokrasi untuk mewujudkan impiannya: menjadi pemimpin Indonesia (hal. 198).
Tak kurang dari 20 tahun Prabowo mengarungi Jalan demokrasi dengan segala dinamikanya. Tiga kali bertarung di Pemilu Presiden, namun selalu menelan kekalahan. Tapi kekalahan tersebut tak membuatnya jera untuk bertarung lagi. Justru spirit bertarungnya semakin kuat. Lawan-lawannya di militer dan politik bahkan akhirnya berbalik arah memberi dukungan pada Prabowo menjadi orang nomor satu di republik ini
Hebatnya, orang-orang yang dulu memecatnya dari militer, malah kemudian ia rangkul. Sebuah pelajaran demokrasi yang cukup berharga dari seorang Prabowo.
Tidak hanya petarung sejati dan pejuang demokrasi, tapi Prabowo juga murah hati. Saat menjadi Menteri Pertahanan di kabinet Jokowi, ia tak pernah mengambil gaji. Pendapatannya sebagai pejabat negara dimanfaatkan untuk amal sosial. Sementara cost hidupnya dipenuhi dari perusahaan yang digelutinya sejak ia berhenti dari militer.
Yang luar biasa dari Prabowo, dunia bisnis yang ditekuninya tidak memalingkan mimpinya untuk menjadi pemimpin. Dia tetap konsisten atas mimpi jadi presiden yang diperjuangkan sejak muda sampai benar-benar terpilih menjadi presiden bersama Gibran Rakabuming Raka (hal.21).
Buku ini layak dibaca sebagai asupan informasi yang sangat berharga. Bukan untuk mengkultuskan Prabowo, tapi belajar jadi petarung yang kokoh dan pejuang demokrasi yang tangguh (*).
Peresensi: Aryudi A Razaq, S.Pd.I