Puasa para politisi itu unik. Setiap Ramadhan tiba, apalagi menjelang pemilihan umum, memaksa para politisi melipatgandakan kebaikan dalam menjalin hubungan dengan massa konstituennya.
Puasa merupakan momentum berbagi dengan para tim dan pendukungnya. Sehingga, politisi tak cukup hanya membangun kesalehan spiritual tetapi juga kesalehan sosial.
Setiap Ramadhan, para politisi pasti merogoh kocek dalam-dalam untuk menyelenggarakan kegiatan sosial: pembagian takjil, buka bersama, tunjangan hari raya, parsel, dan lain sebagainya.
Pembagian Takjil
Jamak para politisi, di awal-awal Ramadhan berbagi takjil kepada para jamaah di masjid atau musolla maupun pengendara sepeda dan mobil di lampu merah. Ini menjadi sarana untuk menyapa masyarakat umum dan mengasah sikap merakyat.
Takjil merupakan makan pembuka puasa yang disunahkan untuk menyegerakan berbuka. Rasulullah SAW berbuka puasa lazim dengan kurma. Sebagaimana hadits yang diriwayat Abu Daud, “Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berbuka puasa dengan ruthab (kurma muda) sebelum shalat (Maghrib). Jika tidak ada ruthab maka dengan tamr (kurma matang), jika tidak ada tamr maka beliau meneguk beberapa teguk air.”
Dan berbuka puasa, juga bisa dengan makan makanan yang manis-manis, seperti kolak pisang, teh manis, sop buah, es campur dan persepadanan menu makanan Nusantara yang beragam lainnya.
Sesungguhnya, takjil maknanya bukan makanan seperti dalam pengertian umum masyarakat muslim Indonesia, tetapi berasal dari Bahasa Arab “Ajila” yang berarti menyegerakan. Yakni menyegerakan berbuka puasa.
Namun, telah terjadi pergeseran makna takjil dari perbuatan menjadi makanan. Ini bagian dari penyerapan bahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia. Hal semacam ini lumrah, sebab makna kata bergantung pada kuatnya asosiasi masyarakat terhadap arti kata dalam penggunaannya sehari-hari.
Apalagi, perbuatan menyegerakan berbuka puasa itu mediumnya harus melalui makanan. Otomatis bayangan banyak orang pada takjil berbentuk makanan sangat kuat sekali. Selain, kebutuhan tubuh yang didera oleh lapar dan dahaga sehari penuh, sejak waktu terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Memang untuk penguatan persepsi publik, tak jarang, para politisi turut berjibaku dalam pembagian takjil secara langsung. Kegiatan ini mengeratkan hubungan para politisi dengan tim dan rakyat. Ikatan psikologi yang kuat menutup peluang pengkhianatan dan perselingkuhan politik yang mengancam karier di partai maupun di dalam pemerintahan.
Takjil bagi para politisi merupakan sarana untuk berbaur dengan konstituen yang merupakan modal elektoral merebut dan mempertahankan kekuasaan. Momentum ini pasti tak akan disia-siakan untuk membangun fix voters (pemilih pasti) yang sangat berharga bagi jatuh bangunnya dalam dunia politik.
Buka Bersama
Buka bersama atau bukber merupakan fenomena massal Ramadhan. Semua instansi sudah membudaya dalam menggelar buka bersama di berbagai tingkatan. Partai politik tak mau ketinggalan mengadakan bukber yang sama. Ini bermanfaat untuk peningkatan silaturrahmi dalam konsolidasi pemenangan.
Para politisi rutin mengonsolidasi para tim dan pendukungnya salam acara bukber. Kegiatan terkadang ditempatkan di resto atau rumah makan atau rumah sang politisi itu sendiri. Mereka diundang sambil mendengar ceramah agama perihal ibadah puasa. Penceramahnya yang mengisi merupakan tokoh agama yang berpengaruh.
Selain berbuka puasa bersama, juga dilanjutkan dengan sholat berjamaah dan terkadang solat terawih bersama. Semua ini untuk membangun spirit kebersamaan dan kerjasama yang kuat dalam meraih kemenangan. Allah SWT dalam QS Al-Anfal Ayat 10 mengingatkan, “Tiada kemenangan kecuali dari sisi Allah”.
Ternyata, bukber merupakan budaya universal. Bukber sama dengan budaya ifthar (buka puasa) di negara-negara muslim Timur Tengah. Bahkan, negara adidaya sekelas Amerika Serikat juga menggelar acara Ifthar setiap tahun sejak 1805 sampai sekarang. Meskipun, acara Ifthar di Gedung Putih mengalami pasang surat mulai dari Presiden Thomas Jefferson sampai dengan Joe Biden.
Acara bukber di Kantor Presiden AS adalah bentuk penghormatan terhadap umat Islam dunia yang sedang menjalani ibadah puasa, dan pengakuan terhadap eksistensi muslim AS yang jumlahnya sudah mencapai 3,45 juta atau setara dengan 1,1 persen dari populasi penduduk negara Paman Sam.
Presiden AS biasanya mengundang seluruh para duta besar negara muslim di AS beserta para tokoh muslim AS lainnya. Ini untuk membangun kesepahaman dalam memerangi terorisme dan radikalisme yang melanda dunia.
Para politisi harus menangkap pesan yang sama dalam menggelar bukber. Pesan damai santosa untuk mewujudkan perdamaian dunia abadi dan berkeadilan sosial. Dalam berkompetisi merebut kursi presiden atau anggota parlemen harus tetap dalam harmoni sosial. Tak boleh menghalalkan segara cara, apalagi sampai menyeret pada perpecahan bangsa. Surya Paloh mengingatkan untuk apa pemilu kalau menimbulkan perpecahan dan kehancuran bangsa. Lebih baik tak usah pemilu.
Bukber bukan hanya sekadar jamuan makan bersama. Tetapi, juga momentum merajut tali silaturahmi. Yang putus bisa tersambung kembali. Yang sambung bisa semakin erat. Kesalahpahaman, ketegangan, kekecewaan, permusahan dan pertikaian bisa dijembatani melalui perjamuan buka puasa ini.
Tunjangan Hari Raya
Kendati, para tim dan pendukung para politisi bukan pegawai di pemerintahan dan perusahaan yang memperoleh Tunjungan Hari Raya (THR) setiap menjelang Idul Fitri tiba, mereka juga menuntut hal yang sama. THR yang diterima memang ala kadar. Sekadar ada, untuk bantuan BBM bagi mereka jalan bersilaturrahmi dengan keluarga.
Semua pasti menyadari benar. Bahwasannya bantuan BBM itu semata wujud kepedulian terhadap orang-orang yang sedang dan telah membantu para politisi dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan. Hubungan antara mereka lebih kesukarelaan daripada hubungan kerja yang jelas hak dan kewajibannya.
Karena itu wajar, bila jumlah THR mereka sangat kecil sekali. Apalagi bila dilihat, jumlah tim dan pendukungnya puluhan ribu orang. Tentu, belanja tunjangan sosial hari raya tersebut cukup membebani finansial sang politisi. Setiap tahun, ratusan juta yang harus dikeluarkan untuk membantu meringankan beban kebutuhan puasa dan hari raya mereka.
Para politisi petahana menyiasati pemberian THR kepada konstituen bersamaan dengan agenda reses, kunjungan daerah pemilihan (kundapil), sosialisasi 4 pilar kebangsaan, sosialisasi regulasi, wawasan kebangsaan (wasbang) dan lain sebagainya.
Berbagai kegiatan di atas difasilitasi oleh negara untuk bertemu konstituen yang merupakan modal bagi para politisi dalam menjalankan fungsi representasi rakyat dalam sistem demokrasi perwakilan. Negara biasanya menyediakan kebutuhan akomodasi, konsumsi dan transportasi peserta. Meskipun, anggaran yang tersedia pasti kurang, mengingat anggaran terbatas, sementara konstituen lebih banyak.
Para politisi petahana pasti sedikit banyak mengeluarkan anggaran pribadi agar dapat menyapa seluruh simpul konstituen yang telah berjasa mengantarnya pada jabatan eksekutif maupun legislatif. Ini cara memelihara para pemilihnya di Dapil agar tetap setia dan tak pindah ke calon atau partai lain.
Dalam buku “Kerja Untuk Rakyat (Buku Panduan Anggota Legislatif)” karya Ani Soetjipto dkk, disebutkan bahwa memelihara hubungan baik dengan konstituen adalah investasi politik masa panjang. Konstituen yang berupa para pemilih punya peran penting dan strategis untuk pemenangan, tapi juga dalam rangka mendukung tugas regulasi, anggaran dan pengawasan anggota parlemen.
Konstituen itu basis suara pemilu sekaligus aspirasi yang wajib dihimpun, disalurkan dan diperjuangankan dalam politik kebijakan dan anggaran. Sehingga, para politisi harus terus menjalin hubungan yang baik dengan massa pemilih yang telah mencoblosnya. Mereka telah menitipkan nasib untuk meningkatkan kesejahteraan serta kualitas hidup yang lebih baik.
Parsel Lebaran
Di seluruh pelosok kampung Nusantara, anak biasa mengirimi makanan kepada orang tua. Saudara muda mengirim makanan kepada saudara tua. Begitu pula, tetangga mengirim makanan terhadap sesama tetangga. Kebiasaan “ater-ater” (dalam Bahasa Madura) sudah berlangsung berabad-abad di tengah masyarakat muslim yang menjalani puasa dan lebaran.
Belakangan, tradisi ini bermetamorfosis pada pemberian parsel. Dan tradisi ini semakin meluas di antara para rekan kerja dan relasi usaha dalam mempererat silaturahmi di bulan Ramadhan dan Syawal.
Parsel berasal dari Bahasa Inggris “Parcel” yang berarti sesuatu yang dibingkis atau dibungkus. Parsel seringkali diartikan dengan pemberian makanan kaleng, minuman kaleng atau barang yang dibingkis atau dibungkus pada hari-hari spesial.
Parsel lebaran secara umum adalah bingkisan lebaran yang ditata rapi dalam keranjang. Oleh-oleh lebaran ini sebagai pengganti kehadiran fisik dari pengirim. Dan pesan, bahwa sang penerima termasuk orang yang memiliki kedudukan khusus dalam hidupnya.
Para politisi juga terbawa arus tradisi ini. Pemberian parsel pada tim dan pendukungnya seakan menjadi kewajiban kultural. Sebuah kebanggaan tersendiri, bila di meja tamu tersedia kue dan minuman dari tokoh idolanya. Ini bukti kepedulian dan perhatian dari tokoh yang akan dan sedang didukung pada pemilu.
Akhirnya, mau tidak mau, para politisi mengadakan parsel walau ala kadar sesuai dengan kemampuan finansial yang ada. Ini merupakan pembiayaan politik ekstra untuk menjaga kedekatan emosional dengan konstituennya.
Sementara, politisi yang menjadi penyelenggara negara tak boleh menerima parsel lebaran. Sebab, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melarang dan menggolongkan sebagai gratifikasi. Sebuah tindakan melawan hukum dengan menerima hadiah yang dapat mempengaruhi jabatan dalam menjalankan tugas di pemerintahan maupun parlemen.
Dengan demikian, parsel lebaran termasuk tradisi sensitif bagi politisi. Ia hanya bisa memberi namun tak boleh menerima. Sebab, pemberian atau penerimaan bingkisan lebaran rawan mengandung tindak pidana korupsi. Sehingga, sang politisi harus selektif demi keselamatan bersama dan tegaknya good governance di Tanah Air.
Dari semua uraian di atas, tergambar jelas bahwa pembiayaan sosial politisi jauh lebih besar dari pembiayaan spiritualnya. Ini konsekuensi logis dari jalan hidup yang dipilih. Kekuasaan jalan pintas untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat banyak.
Tak banyak orang yang memilih jalan sebagai politisi ini. Jalan yang penuh resiko. Mereka adalah aktivis yang bergelut dengan partai dan lembaga publik untuk memperjuangkan aspirasi rakyat.
Aberbach dkk dalam buku “Bureaucrats and Politicians in Western Democracies”, membatasi pengertian politisi kepada orang yang sedang menjabat dan berupaya untuk menjabat dalam pemerintahan, baik di tingkat nasional, regional maupun lokal. Mereka sejatinya penyambung lidah rakyat dalam mengelola negara.
Dengan kegiatan sosial yang menelan biaya besar di atas, politisi negara yang mayoritas muslim, disadarkan bahwa jalan kekuasaan lebih banyak bernilai pengabdian daripada pekerjaan. Dunia politik tak cocok bagi pencari kerja atau pemburu rente. Dunia ini hanya cocok pada pejuang yang berani bertarung dan bertaruh hidup dan mati. Orang-orang yang telah mewakafkan hidupnya demi kemajuan Ibu Pertiwi.
Puasa telah memberi pengalaman langsung derita lapar dan haus orang papa. Para politisi harus tahu, seperti kata Khalifah Abu Bakar, pemerintahan dibentuk untuk melindungi yang lemah. Sebab, bagi mertua Rasulullah SAW tersebut, orang kuat menjadi orang lemah di hadapannya. Dan sebaliknya, orang lemah menjadi orang kuat di hadapannya pula.
*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute