Okupansi Pesawat Jember-Sumenep Rendah, Edy Purnomo: Penerbangan Perintis Tak Menghitung Untung-Rugi
Jember, Portal Jawa Timur – Layanan penerbangan dari Bandar Udara Notohadinegoro Jember menuju Bandar Udara Trunojoyo Sumenep Madura atau sebaliknya masih terus digelar sejak digeber tanggal 10 Januari 2023 lalu. Namun tingkat okupansinya hanya rata-rata berkutat antara 56 sampai 60 persen. Padahal untuk mencapai titik impas tingkat keterisian pesawat seharusnya di atas 70 persen. Rugikah?
Baca Juga: Baru Pertama Terjadi di Jember, Penurunan Bendera Merah Putih Didahului Kirab Budaya
“Ini adalah penerbangan perintis, tak menghitung untung-rugi. Penerbangan perintis memang untuk melayani daerah-daerah terpencil serta untuk melayani bandar udara yang masih belum optimal. Jadi kalau rugi, ya ini pasti rugi,” ujar Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Bandara Notohadinegoro, Edy Purnomo kepada awak media ini di sela-sela sela-sela Peringatan Peringatan Hari Ulang Tahun ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia di Alun-alun Jember, Kamis (17/8/2023).
Baca Juga: Pencairan Beasiswa di Jember Tunggu Verifikasi dari Kemendikbudristek RI
Penebangan perintis rute Jember-Sumenep dan sebaliknya dilakukan sepekan sekali dengan menggunakan pesawat Cessna Grand Caravan, yakni setiap hari Selasa, pukul 09.24-10.04 WIB dari Bandar Udara Trunojoyo menuju Bandar Udara Notohadinegoro. Sedangkan jadwal pemberangkatan dari Bandar Udara Notohadinegoro menuju Bandar Udara Trunojoyo adalah pukul 10.14-10.54.
Namun khusus untuk pekan ini, penerbangan Jember-Sumenep dilakukan dua kali dalam sepekan yakni Selasa dan Rabu karena minggu pekan lalu (Selasa) ada kunjungan Wakil Presiden di Sumenep, sehingga diliburkan.
“Jadi Rabu kemarin sebagai gantinya. Tapi untuk selanjutnya penerbangan normal lagi sepekan sekali,” tambahnya.
Penebangan perintis rute Jember-Sumenep dan sebaliknya disubsidi oleh APBN, sehingga ongkosnya murah, yakni Rp242.000/orang. Harga ini hanya sedikit lebih mahal dibanding ongkos kendaran darat seperti bus.
“Jadi sekali lagi pemerintah tak menghitung rugi atau untung, karena ini proyek perintis,” tambah Edy.
Menurutnya, landasan pacu di Bandar Udara Notohadinegoo hanya 1.560 meter, sehingga cuma pesawat pesawat berkapasitas 12 hingga 70 penumang yang bisa mendarat di bandar udara ini. Oleh karena itu, pihaknya menginginkan perpanjangan landasan pacu hingga menjadi 2.200 sampai 2.600 meter dengan lebar 45 meter.
“Itu baru pesawat Boeng 737 bisa mendarat di sini,” jelasnya.
Bandar Udara Notohadinegoro terkesan lambat perkembangannya jika dibandingkan dengan Bandar Udara Banyuwangi. Memang bandar udara yang dulu dikenal dengan nama Bandar Udara Blimbingsari itu, lebih tua dari Bandar Udara Notohadinegoro, yakni beroperasi sejak Desember 2010. Sedangkan Bandar Udara Notohadinegoro dibuka sejak tahun 2015.
“Karena Bandar Udara Banyuwangi landasan pacunya sudah lama 2.500 meter dan lebar 45 meter sehingga Boeing bisa (mendarat) di situ” pungkasnya (Jbr-1/Aryudi AR).