Opini

Menilik Proyeksi Hukum Perdata dalam Pembaharuan Sistem Hukum di Indonesia

Oleh: Muhamad Imron, Nanang T.B., dan Anang Pratama Widiarsa*

Pendahuluan: Antara Warisan dan Harapan

semangat pembaharuan hukum nasional semakin mengemuka sejak pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Transformasi ini menandai titik balik dalam pembangunan sistem hukum nasional yang berdaulat, berakar pada nilai-nilai lokal, dan responsif terhadap perkembangan zaman. Namun, satu bagian penting dari tubuh hukum nasional justru masih tertinggal, yakni terkait proyeksi hukum perdata yang berlaku saat ini.

Di saat hukum pidana telah mengalami kodifikasi ulang secara menyeluruh, rancangan pembaharuan KUHPerdata justru masih berada pada tahap penyusunan naskah akademik dan harmonisasi lintas sektor. Draft awal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (RKUHPerdata) sejauh ini baru mengemuka di ruang-ruang akademik dan forum terbatas, dengan pembahasan menyasar sejumlah isu mendasar: rekonstruksi asas perikatan, perlindungan konsumen, keadilan kontraktual, serta integrasi nilai-nilai syariah dan praktik ekonomi digital. Ketimpangan antara kemajuan di ranah pidana dan stagnasi di ranah perdata memunculkan pertanyaan strategis: apakah sistem hukum Indonesia siap berdiri di atas dua fondasi yang tidak seimbang? Oleh sebab itu, menilik proyeksi hukum perdata dalam kerangka pembaharuan hukum nasional bukan semata wacana akademik, melainkan kebutuhan mendesak untuk menyempurnakan bangunan hukum yang utuh, secara berkeadilan, berkemanfatan, dan berkepastian atas penerapannya.

Sistem hukum perdata Indonesia hingga hari ini masih bergantung pada warisan sistem hukum Belanda, yaitu Burgelijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Meski sudah lebih dari tujuh dekade berlalu, KUHPerdata masih menjadi sumber hukum utama, terutama dalam aspek hukum perikatan yang termaktub dalam Buku III. Pembaharuan parsial memang terjadi, seperti dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960. Namun, pembaharuan komprehensif belum menyentuh struktur fundamental hukum perdata Indonesia. Dalam konteks kekinian (2024–2025), isu-isu perdata menjadi semakin kompleks dengan masuknya pengaruh sistem common law, doktrin hukum Islam, hingga tantangan digitalisasi dan perdagangan berbasis teknologi.

Permasalahan hukum perdata kini tidak lagi sekadar menyangkut relasi antar individu, tetapi juga meluas pada persoalan multinasional yang melibatkan transaksi digital, hak konsumen, hukum keluarga lintas negara, hingga kontrak bisnis berbasis blockchain. Hal ini menuntut respons hukum yang tidak hanya adaptif, tapi juga proaktif dan visioner. Oleh karena itu, menilik proyeksi hukum perdata dalam kerangka pembaharuan hukum nasional menjadi langkah krusial untuk menjawab kebutuhan zaman.

Persilangan Tiga Pilar: Civil Law, Common Law, dan Hukum Islam

Pembaharuan hukum perdata saat ini tidak bisa dilepaskan dari persilangan antara tiga sistem hukum besar: civil law (kontinental), common law (anglo-saxon), dan hukum Islam (syariah). Dalam praktik kontrak, misalnya, ketiganya telah berkelindan, menciptakan mozaik hukum yang unik dan penuh tantangan.

  1. Civil Law: KUHPerdata sebagai produk kolonial berakar pada sistem hukum kontinental. Di dalamnya, pengaturan wanprestasi, ganti rugi, hingga definisi perikatan tetap menjadi acuan primer, walau sering dianggap kaku dan tidak responsif terhadap perkembangan zaman. Namun demikian, sistem ini masih menjadi fondasi yuridis utama dalam banyak putusan perdata di Indonesia.
  2. Common Law: Melalui kontrak investasi asing pasca UU Penanaman Modal (UU No. 25 Tahun 2007), pengaruh common law mulai merembes ke dalam praktik kontrak di Indonesia, terutama dalam hal liquidated damages, penalty clauses, dan interpretasi yurisprudensial. Perkembangan ini juga didorong oleh semakin terbukanya perekonomian Indonesia terhadap pasar global dan kerja sama lintas negara.
  3. Hukum Islam: Munculnya regulasi berbasis syariah seperti UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah serta fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) telah menghadirkan prinsip ta’widh dan gharamah dalam kontrak-kontrak keuangan dan pembiayaan. Prinsip keadilan distributif dan larangan riba menjadi ciri utama pendekatan hukum Islam dalam menyikapi wanprestasi dan kompensasi kerugian.

Interseksi ketiga sistem ini menciptakan tantangan tersendiri dalam praktik peradilan perdata, baik dalam hal interpretasi maupun harmonisasi norma. Hakim dan praktisi hukum dituntut untuk tidak hanya berpijak pada teks hukum, tetapi juga memahami semangat di baliknya agar tercipta putusan yang berkeadilan.

Ganti Rugi: Tafsir Tiga Arah atas Konsep Kerugian

Konsep ganti rugi adalah titik temu sekaligus titik pisah antara sistem hukum yang ada. Pasal 1243–1252 KUHPerdata mengatur ganti rugi akibat wanprestasi, tetapi tidak memberi definisi yang konkret atas kerugian itu sendiri. Di sisi lain, sistem common law membagi ganti rugi menjadi lima jenis: liquidated damages, direct damages, actual damages, consequential damages, dan material damages.

Hukum Islam menegaskan bahwa hanya kerugian riil yang bisa diganti (real loss), sementara kerugian imajiner atau potensi (opportunity loss) dinilai mengandung unsur riba. Maka muncullah dikotomi pendekatan dalam putusan Mahkamah Agung:

  1. Kamar Perdata mengadopsi kerugian materiil dan immaterial berdasarkan KUHPerdata.
  2. Kamar Agama hanya mengakui kerugian materiil (ta’widh), menolak kerugian immaterial karena dianggap tidak riil dan mengandung unsur ketidakpastian.

Putusan MA No. 154 K/Ag/2023 menjadi contoh penting dalam adopsi fatwa DSN dalam yurisprudensi perdata Islam. Hal ini mencerminkan adanya kebutuhan mendesak untuk menyatukan pemahaman mengenai parameter keadilan dan kompensasi yang berlaku universal namun tetap kontekstual.

Contoh lainnya adalah putusan MA No. 2822 K/Pdt/2014 antara Dirut PT. Lion Air dan Budi Santoso, yang memperluas cakupan kerugian immaterial, menandai adanya evolusi interpretatif dalam praktik perdata. Yurisprudensi semacam ini dapat menjadi katalis dalam menyempurnakan norma hukum positif yang selama ini statis.

Upaya Harmonisasi: Menuju KUHPerdata Masa Depan

Pembaharuan KUHPerdata mutlak diperlukan. Proses ini harus mencakup harmonisasi berbagai doktrin hukum sebagai bentuk respons terhadap perkembangan praktik kontrak dan tuntutan keadilan substantif. Ada sejumlah aspek yang wajib dimasukkan:

  1. Doktrin Perlindungan Konsumen: Menekankan equality of bargaining power dan asas kehati-hatian dalam transaksi.
  2. Doktrin Unjust Enrichment: Menyasar pihak yang diuntungkan secara tidak adil tanpa dasar hukum yang sah.
  3. Quantum Meruit: Menghargai jasa sesuai dengan manfaat yang diberikan, meski tanpa kontrak tertulis.
  4. Anti-Riba dan Etika Syariah: Sebagai asas dalam transaksi keuangan berbasis prinsip Islam.

KUHPerdata masa depan idealnya memuat lex specialis untuk jenis-jenis perikatan tertentu seperti leasing, e-commerce, pembiayaan berbasis syariah, hingga transaksi berbasis aset digital seperti NFT dan smart contracts.

Tantangan Kontemporer: Era Digital dan Konvergensi Hukum Ekonomi

Perkembangan teknologi digital menjadi tantangan sekaligus peluang dalam pembaharuan hukum perdata. Salah satu isu mendesak adalah validitas kontrak elektronik. UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) telah membuka jalan, namun KUHPerdata belum sepenuhnya mengakomodasi mekanisme kontrak berbasis sistem elektronik, smart contract, dan blockchain.

Di sisi lain, integrasi prinsip ESG (Environmental, Social, and Governance) dalam perjanjian bisnis menjadi tren global yang tak terhindarkan. Dunia usaha kini dituntut tidak hanya legal, tetapi juga etis dan berkelanjutan. Maka, pembaharuan KUHPerdata harus merespons fenomena ini dengan mengakui klausul keberlanjutan sebagai bagian dari kehendak hukum modern.

Menutup Dualisme: Hakim sebagai Legislator Positif

Dalam lanskap hukum perdata modern, peran hakim tidak lagi sebatas sebagai corong undang-undang (la bouche de la loi), melainkan turut berperan sebagai legislator positif yang memiliki ruang interpretasi terhadap norma. Hal ini sejalan dengan pendekatan dalam sistem common law yang menjadikan yurisprudensi sebagai sumber hukum utama. Dalam praktiknya, Mahkamah Agung RI kini menunjukkan kecenderungan serupa, terutama dalam putusan-putusan penting yang menjadi rujukan nasional.

Sebagai contoh, perluasan makna kerugian immaterial dalam perkara PT. Lion Air menunjukkan bahwa hakim dapat mendorong evolusi makna hukum yang sebelumnya stagnan. Sementara itu, pada sisi hukum Islam, hakim-hakim di Kamar Agama mampu melakukan internalisasi fatwa DSN MUI dalam putusan, menandakan keterbukaan terhadap pembaruan berbasis nilai-nilai religius.

Namun demikian, tantangan besar terletak pada bagaimana menyatukan paradigma ini ke dalam satu sistem yang koheren. Diperlukan pedoman yudisial yang lebih eksplisit agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum akibat tafsir yang terlalu bebas atau bertentangan antar kamar pengadilan. Penguatan lembaga Mahkamah Agung sebagai pengarah arah reformasi yurisprudensi menjadi sangat strategis.

Rekomendasi Strategis Pembaharuan Hukum Perdata

Sebagai penutup, berikut ini beberapa rekomendasi strategis yang dapat dijadikan panduan dalam merumuskan arah pembaharuan hukum perdata Indonesia:

  1. Kompilasi Konvergensi Hukum: Pemerintah bersama akademisi dan praktisi hukum perlu menyusun naskah akademik dan RUU KUHPerdata baru yang mengakomodasi prinsip-prinsip dari civil law, common law, dan hukum Islam.
  2. Legislasi Ganti Rugi Modern: Perlu adanya pengaturan eksplisit mengenai jenis-jenis kerugian, standar pembuktian, serta integrasi pendekatan normatif dan ekonomi dalam menentukan besaran ganti rugi.
  3. Integrasi Prinsip Perlindungan Konsumen dan ESG: Dalam kontrak-kontrak bisnis, klausul perlindungan terhadap pihak lemah dan keberlanjutan lingkungan harus mendapatkan tempat yang jelas sebagai bentuk keadilan sosial.
  4. Digitalisasi Perangkat Hukum: Termasuk pengakuan kontrak elektronik, otentikasi digital, penggunaan smart contract, serta sistem penyelesaian sengketa berbasis teknologi (online dispute resolution).
  5. Keterlibatan MA dan DSN MUI dalam Pembentukan Norma: Mahkamah Agung dan Dewan Syariah Nasional perlu dilibatkan lebih aktif dalam merumuskan norma-norma interpretatif sebagai respons terhadap isu-isu kontemporer.
  6. Pendidikan Hukum yang Interdisipliner: Kurikulum hukum di perguruan tinggi harus mencakup komparasi sistem hukum dan pendekatan interdisipliner, terutama di bidang hukum kontrak, ekonomi digital, dan fiqh muamalah.

Pembaharuan KUHPerdata adalah bukan hanya perkara akademik, tetapi panggilan zaman untuk melahirkan sistem hukum yang adil, relevan, dan inklusif. Proyeksi hukum perdata ke depan harus berpijak pada prinsip keadilan substantif, dengan membuka ruang bagi pluralitas sistem hukum: civil law, common law, dan hukum Islam. Negara-negara lain telah memulai lebih dulu. Belanda, misalnya, merevisi BW mereka sejak 1992 dengan memasukkan doktrin unjust enrichment. Malaysia mengintegrasikan ta’widh dan gharamah dalam regulasi pembiayaan syariah secara eksplisit. Indonesia tidak boleh tertinggal. Dengan menyatukan kekuatan legislasi, yurisprudensi, dan etika hukum yang berkembang, masa depan hukum perdata Indonesia akan berdiri kokoh sebagai fondasi negara hukum yang sejati: menjunjung keadilan, menghormati keragaman, dan adaptif terhadap perubahan zaman.

Penutup: Menata Masa Depan Hukum Perdata

Pembaharuan hukum perdata adalah keniscayaan yang tak bisa ditunda. Perkembangan teknologi, tuntutan keadilan ekonomi, dan pluralitas nilai-nilai hukum menjadi panggilan zaman yang harus dijawab. Dalam arus globalisasi dan digitalisasi, hukum tidak boleh tertinggal. Dengan pendekatan inklusif yang merangkul kekayaan sistem hukum civil, common, dan syariah, Indonesia dapat membentuk sistem hukum perdata yang adil, fleksibel, dan berdaya saing global. Hukum perdata masa depan bukan hanya mengatur, tetapi juga membimbing, melindungi, dan menginspirasi keadaban hukum nasional.

 Penulis adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Angkatan 47 Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
error: Content is protected !!