Opini

RUU di Tengah Badai, Mengurai Konflik dan Kontroversi

Oleh: Aisyah Ajhury Al Hasani

Konflik internal antara DPR, Mahkamah Konstitusi (MK), dan masyarakat sipil terkait UU Pilkada mencerminkan perbedaan pandangan dan kepentingan dalam mengelola proses pemilihan kepala daerah di Indonesia. Konflik ini biasanya muncul dari ketidaksepakatan mengenai bagaimana pemilihan kepala daerah harus diatur untuk menjaga prinsip demokrasi, partisipasi politik, dan stabilitas pemerintahan. Berikut adalah beberapa dimensi konflik tersebut:

  1. Perspektif DPR

– Kepentingan Politik: DPR, sebagai lembaga legislatif, memiliki peran utama dalam merancang dan mengesahkan undang-undang, termasuk UU Pilkada. Anggota DPR sering kali mewakili kepentingan partai politik, yang mungkin memiliki agenda tertentu terkait bagaimana pemilihan kepala daerah harus dilakukan. Misalnya:

– Kontroversi Revisi UU Pilkada: Ketika DPR mengusulkan revisi UU Pilkada, yang mengubah cara atau sistem pemilihan, hal ini sering kali memicu kontroversi. Misalnya, perubahan dari pemilihan langsung ke pemilihan tidak langsung (melalui DPRD) telah menjadi isu yang sangat diperdebatkan karena dianggap mengurangi partisipasi langsung rakyat dalam pemilihan kepala daerah.

– Kontroversi dalam RUU Pilkada saat ini terutama disebabkan oleh perbedaan pandangan antara DPR dan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait ambang batas pencalonan dan syarat usia minimum calon kepala daerah. DPR mengembalikan beberapa aturan yang sebelumnya telah diubah oleh MK, seperti ambang batas pencalonan yang lebih rendah dan penetapan usia minimum calon saat dilantik, bukan saat ditetapkan sebagai calon. Langkah ini dianggap mengabaikan putusan MK dan menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat​(

  1. Perspektif Mahkamah Konstitusi (MK)

– Penjaga Konstitusi: MK berperan sebagai lembaga yang memastikan setiap undang-undang, termasuk UU Pilkada, tidak bertentangan dengan konstitusi. Ketika ada pengajuan judicial review, MK menilai apakah ketentuan dalam UU tersebut sesuai dengan UUD 1945.

– Keputusan yang Mengikat: Putusan MK bersifat final dan mengikat. Hal ini sering kali menjadi sumber ketegangan jika putusan tersebut bertentangan dengan kehendak politik DPR atau pemerintah. Sebagai contoh, jika MK membatalkan ketentuan dalam UU Pilkada yang dianggap inkonstitusional, DPR harus menyesuaikan undang-undang tersebut, yang terkadang dianggap tidak sesuai dengan agenda politik tertentu.

  1. Perspektif Masyarakat Sipil

– Kepentingan Demokrasi: Masyarakat sipil, termasuk mahasiswa, LSM, dan organisasi masyarakat lainnya, sering kali mengadvokasi agar UU Pilkada tetap mendukung prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, dan partisipasi rakyat. Mereka biasanya menentang perubahan yang dianggap mengurangi hak-hak rakyat untuk memilih pemimpin mereka secara langsung.

– Protes dan Aksi Massa: Ketika masyarakat sipil merasa bahwa perubahan UU Pilkada merugikan demokrasi, mereka seringkali turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan. Demonstrasi, aksi protes, dan kampanye publik sering menjadi cara masyarakat sipil menekan pemerintah dan DPR agar tidak mengesahkan revisi yang kontroversial.

  1. Konflik dan Ketegangan

– Kepentingan Berbeda: Ketegangan muncul karena perbedaan kepentingan antara DPR yang mungkin ingin meningkatkan kontrol politik, MK yang ingin menjaga konstitusionalitas, dan masyarakat sipil yang berjuang untuk mempertahankan demokrasi dan partisipasi rakyat.

– Kritik terhadap DPR dan Pemerintah: Masyarakat sipil sering mengkritik DPR dan pemerintah jika dianggap membuat undang-undang yang menguntungkan elit politik dan mengabaikan aspirasi rakyat. Hal ini dapat memicu ketegangan politik dan sosial.

– Peran Media dan Opini Publik: Media memainkan peran penting dalam menginformasikan dan membentuk opini publik tentang konflik ini. Liputan media dapat memperkuat posisi masyarakat sipil atau bahkan mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh DPR dan pemerintah.

  1. Solusi Potensial

– Dialog dan Mediasi: Untuk meredakan ketegangan, perlu ada dialog yang terbuka antara semua pihak, termasuk DPR, MK, pemerintah, dan masyarakat sipil. Mediasi melalui lembaga independen juga bisa menjadi solusi untuk menemukan titik temu.

– Transparansi Proses Legislasi: Meningkatkan transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi dapat mengurangi kecurigaan dan ketegangan. DPR sebaiknya melibatkan berbagai pihak dalam pembahasan perubahan UU Pilkada.

– Penghormatan terhadap Keputusan MK: Semua pihak, terutama DPR dan pemerintah, harus menghormati keputusan MK sebagai lembaga penegak konstitusi. Ini penting untuk menjaga stabilitas hukum dan politik di Indonesia.

Secara umum, DPR tidak memiliki kewenangan untuk langsung menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). MK adalah lembaga yudikatif independen yang bertugas menafsirkan dan menguji konstitusionalitas undang-undang. Ketika MK memutuskan bahwa suatu undang-undang atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, keputusan itu bersifat final dan mengikat.

Namun, DPR memiliki beberapa opsi yang dapat digunakan jika mereka tidak setuju dengan keputusan MK terkait UU Pilkada:

  1. Membuat Revisi Baru: DPR dapat merumuskan ulang atau merevisi undang-undang tersebut untuk memenuhi putusan MK, tetapi dengan tetap mencoba mencapai tujuan politik mereka. Revisi ini harus tetap dalam koridor putusan MK dan UUD 1945.
  2. Mencari Jalan Lain Melalui Legislasi: DPR dapat mencoba menyusun undang-undang baru yang berbeda tetapi mengandung tujuan yang sama, selama tidak bertentangan dengan putusan MK atau UUD 1945.
  3. Proses Politik: DPR dapat menggunakan proses politik seperti negosiasi dengan pihak eksekutif atau membangun opini publik untuk mendukung versi UU yang mereka inginkan, meskipun hal ini tidak bisa menganulir keputusan MK.
  4. Judicial Review Lanjutan: Pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh putusan MK dapat mengajukan permohonan uji materi ulang, meskipun MK jarang mengubah putusannya sendiri. Ini bukan berarti menganulir, tetapi mencoba mengubah sudut pandang hukum terkait peraturan tersebut.

Dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia, keputusan MK tidak dapat dianulir oleh DPR. Namun, DPR dapat mengajukan revisi atau perundang-undangan baru untuk mencapai tujuan yang sama, asalkan sesuai dengan konstitusi dan tidak melanggar putusan MK.

Konflik ini mencerminkan dinamika demokrasi di Indonesia, di mana berbagai aktor dengan kepentingan berbeda mencoba mempengaruhi arah kebijakan publik, khususnya terkait pemilihan kepala daerah.

Penulis adalah Praktisi Pendidikan dan Dakwah, Koordinator Pemberdayaan Perempuan ISNU (Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama) Jawa Timur 2017-2022

 

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button